Rabu, 04 Mei 2011

Ulang Tahun Tuntutan Reformasi

ULANG TAHUN TUNTUTAN REFORMASI


Mereka-reka Puzzle Gerakan Mahasiswa,
Hululedak gerakan mahasiswa Islam di masa reformasi kemarin, genap berusia setahun. Umur satu tahun untuk bayi, baru bisa berjalan. Bicaranya pun masih susah dimengerti orang dewasa. Tapi tidak bagi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang merayakan ulang tahun pertamanya 29 Maret kemarin.
Dalam setahun ini, KAMMI ikut andil dalam perubahan-perubahan besar di Indonesia yang berpuncak pada kejatuhan Soeharto pada 21 Mei tahun lalu, sesudah 32 tahun berkuasa. Tadinya berbentuk koordinasi aksi, KAMMI lalu diubah oleh para aktivisnya menjadi organisasi mahasiswa Islam ekstra kampus. Ia jadi pendatang baru di samping rekan-rekannya PMII, IMM, maupun HMI.
Basis massanya para aktivis masjid kampus se-Indonesia yang bertahun-tahun menahan diri dari politik praktis. Karenanya kehadiran KAMMI cukup mengejutkan dengan jaringan yang langsung berdiri di 26 propinsi (minus Timor Timur) dan beberapa kota di Eropa dan Amerika.
Organisasi ini jelas-jelas menggunakan argumentasi religius dalam gerakannya. Hadirnya argumentasi ini sebenarnya merupakan salah satu fenomena baru yang muncul pada dekade 1990-an. Paling tidak, menurut Fadli Zon, terdapat tiga fenomena baru gerakan mahasiswa 1990-an, yaitu: fenomena religius, kesadaran internasional, dan kecenderungan konvergensi aksi-refleksi (Majalah Suara Mahasiswa UI No 9/tahun III/ Mei Juni 1995).
Kelemahan awal dari argumentasi Fadli Zon adalah mempersempit unsur religiusitas ke dalam satu komunitas keagamaan saja, yaitu Islam. Sehingga agama-agama lain luput dari pengamatannya. Selain itu, konsepsi religius merupakan konsepsi antropologis, dalam arti kesadaran kemanusiaan lebih mendominasi ketimbang kesadaran ketuhanan yang sudah transendental dan dianggap lazim.
Sebagai konsepsi antropologis, unsur religiusitas merupakan bagian dari unsur kebudayaan, sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat. Unsur religius ini kurang mampu menampung pengertian dan pemahaman tentang agama-agama samawi, seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, yang langsung datang dari langit lewat perantaraan rasul-Nya.
Terlepas dari persoalan keilmuan di atas, hadirnya mahasiswa religius menjadi sangat menarik untuk diamati. Kelompok ini merupakan antitesis dari proses sekularisasi dalam kehidupan duniawi, karena itu cenderung dicap eksklusif, demikian menurut pengamatan Mohamad Qodari (Jurnal Madani No 1 tahun I 1998) dan sorang pengamat dari Departemen Agama (Abdul Aziz, 1995). Menurut mereka kelompok ini digolongkan sebagai revivalis (kaum yang bangkit).
Bahkan Yusril Ihza Mahendra menggolongkan mereka sebagai fundamentalis meskipun dengan pengertian yang positif. Tetapi setelah dikritik di sana-sini, Yusril menggantinya dengan sebutan Neo-Revivalis.
Ciri kelompok revivalis atau neo-revivalis ini adalah pertama, pandangan keagamaan yang bersifat monolitik; kedua, peran dan posisi Murabbi (pembina/guru ngaji) yang sentral dan besar; dan ketiga, doktrin al-wala wal-bara yang secara harfiah berarti loyalitas dan pemisahan diri, yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan pada pemimpin dan memelihara pemurnian kelompok.
Dalam kehidupan sehari-hari, selain berkembang dan tumbuh dengan pesat ternyata mereka juga sering mengalami konflik dengan individu atau kelompok lain. Wujud nyatanya dalam kegiatan pemilihan organisasi kemahasiswaan, khususnya ketua Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa, baik di tingkat fakultas maupun universitas (Hendry Kuswari, 1995 dikutip dari Qodari dalam Jurnal Madani).
Menurut catatan Hendry, terjadi pertarungan antara kelompok revivalis dengan kelompok yang katakanlah bukan revivalis, di mana kelompok yang pertama (merasa) memiliki visi kemahasiswaan berdasarkan ideologi Islam, sedangkan kelompok yang kedua (dikatakan) melihat dunia kemahasiswaan dengan ideologi sekuler.
Bahkan terkadang konflik itu menghadapkan kelompok revivalis dengan kelompok lain seperti HMI, HMI MPO (yang seringkali memakai Marxisme semata-mata sebagai alat analisis situasi kesenjangan ekonomi di Indonesia), PMII (terutama PMII Yogya dan Surabaya yang seringkali memakai pemikiran Kiri Islam Hassan Hanafi dan Teologi Pembebasan Amerika Latin).
Tetapi belakangan dalam diskusi di CYFIS (Centre for Youth, Future, and International Studies) Pondok Gede, salah seorang anggota kelompok revivalis ini, Subianto, yang juga ketua BEM UGM mengkritik cara berfikir yang demikian.
Bahkan sebagai salah seorang pemimpin lembaga formal kemahasiswaan ia mengatakan tak tertarik dengan ideologi apapun. Katanya sebagai pemimpin lembaga formal seharusnya juga jangan berpihak kepada ideologi tertentu.
Persoalan di atas dibantah oleh Haryo Setyoko, Sekjen KAMMI, yang mengatakan pentingnya ideologi agar mahasiswa tidak bingung merumuskan agenda aksi dan untuk kontinuitas gerakan mahasiswa.
Subianto juga menunjuk KAMMI berideologi Islam sebagai hal yang kuno, mengutip Kuntowijoyo. Kunto mengatakan dalam tahap pergerakan Islam di Indonesia ada 3 tahap yaitu mistis, ideologis, kemudian ilmu. Tahap mistis adalah sebelum lahirnya Gerakan Modern Islam, tahap ideologis adalah masa SI, Darul Islam, dan Masyumi, tahap ilmu adalah setelah Gerakan Pembaharuan yang dilokomotifi oleh Nurcholis Madjid. (Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Salahudin Press, 1985).
Suatu hal yang menarik adalah KAMMI yang merupakan metamorfosis kelompok revivalis ini sekarang sudah digolongkan orang sebagai kelompok moderat. Hal ini karena tesis radikal gerakan revivalis di awal 1990-an terbentur antitesis Orde Baru dan gerakan-gerakan kiri atau kelompok populis yang sering berinisiatif dalam memulai gerakan untuk menumbangkan Soeharto.
Sintesisnya adalah proses moderasi gerakan revivalis ini. Seorang peserta diskusi menceritakan pengalamannya mengajak kelompok ini untuk turut dalam arus gerakan reformasi Maret 1998, mereka menolak dengan mengatakan itu gerakan anak-anak kiri.
Tetapi kemudian walaupun agak terlambat KAMMI berdiri dan menyusul di tikungan dalam perlombaan 'balap menurunkan Soeharto'. Beberapa hari sesudah terbunuhnya mahasiswa Trisakti, dalam sebuah tabligh akbar di Masjid al-Azhar, Ketua KAMMI Fahri Hamzah menyerukan dukungan kepada Amien Rais sebagai presiden RI mendatang.
Proses moderasi di kalangan gerakan revivalis cukup berhasil bahkan ada seorang pengamat dari Amerika yang dengan tulisan panjang jelas-jelas menggolongkan KAMMI sebagai gerakan moderat.
KAMMI adalah kelompok tengah yang berada antara kutub Forkot dan kutub HAMMAS. Hal ini diungkapkan dalam diskusi di CYFIS tanggal 25 Maret 1999 oleh Tahyar dari UNFREL sembari mengutip laporan intel yang bocor.
Dengan pendekatan militer, penggolongan yang juga disetujui Tahyar adalah: kelompok radikal anarkis, yaitu Forkot, KBUI, Komrad, dan Famred. Isunya adalah anti RUU Politik, pemerintahan transisi, dan anti Dwi Fungsi ABRI. Kecenderungannya adalah menggagalkan pemilu, juga revolusi.
Kelompok idealis kompromis. Kelompok ini dibagi dua lagi yaitu kelompok gerakan moral dan gerakan Islam dalam organisasi formal kemahasiswaan. Isunya adalah cabut dwifungsi ABRI dan adili Soeharto. Kelompok-kelompok ini adalah Forma Indonesia, KAMUI, dan Forum Salemba.
Kelompok Gerakan Islam, yang terdiri dari Mahasiswa Islam Moderat, yaitu KAMMI, PMII, HMI Dipo, IMM. Isunya adalah pemilu jurdil, cabut asas tunggal, adili Soeharto, dan terbentuknya Indonesia Baru versi Islam. Massa cair, yaitu HMI MPO, Organisasi-Organisasi Pemuda NU, Pemuda Muhammadiyah.
Islam Radikal. Kelompok ini adalah kelompok yang paling siap dari pemikiran struktur, fasilitas. Mereka adalah kelompok NII dan DI/TII yang siap mendirikan negara Islam.
Kelompok-kelompok Status Quo. Ormas Pemuda seperti Pemuda Pancasila, mereka melakukan counter issue dengan tujuan chaos agar Soeharto tidak diadili. Dari semua kelompok ini ada 3 isu besar yaitu, Pemilu Jurdil, terbentuk pemerintahan transisi, dan cabut dwifungsi ABRI.
Hal inilah yang diprihatinkan oleh Hanri Basel --mantan ketua SM IKIP-- dan Haryo Setyoko karena ideologi membuat mahasiswa terpecah-pecah setelah lengsernya Soeharto. Hal ini juga ditambahkan oleh Sarbini --tokoh FKSMJ-- yang mengatakan itulah jasa Soeharto yaitu mempersatukan gerakan mahasiswa.
Walaupun Sarbini tidak setuju apabila dikatakan ada perbedaan ideologi dalam gerakan mahasiwa, ideologi tetap diperlukan, bukan hanya dalam pemikiran dan alat analisis tetapi dalam perilaku sehari-hari. Ada yang mengaku berideologi Islam tidak mempraktekkannya misal tidak husnudzon, dalam batas-batas tertentu juga mencap kafir. Yang mengaku berideologi kiri juga ternyata tetap merokok yang notabene produk kapitalis, juga banyak yang hedonis.
Menurut Sarbini, yang sesungguhnya membedakan tipe gerakan mahasiswa adalah: Idealis konfrontatif, yang selalu mencap pemerintah dan ABRI salah. Kelompok ini kuat dalam refleksi dan memang di situ titik tekannya. Idealis realis, yang masih ada kompromi dengan realitas, mereka juga kuat dalam refleksi. Gerakan Oportunis, yang dahulu menjilat pemerintah Orde Baru tetapi ketika Orde Baru hampir jatuh mencaci-maki Orde Baru, dan sekarang melihat peluang pada partai-partai kuat atau bersatu dengan pemerintahan Habibie.
Kelompok apolitis, yang tidak mau tahu apa yang terjadi, yang penting diri sendiri. Kelompok rekreatif, yang ikut demo hanya untuk senang-senang, pacaran, bahkan kelompok inilah yang mengotori gedung MPR/DPR dengan kondom.
Lalu ada kelompok konfrontatif irasionil. Kelompok inilah yang cenderung anarkis. Subianto menambahkan bahwa ada penyakit gerakan mahasiswa sekarang yaitu parsialisme dan merasa diri paling benar, misal menguatnya isu daerah, isu kekerasan terhadap perempuan. Penyakit ini ditambahkan dengan sifat tidak mau tahu persoalan lain. Mereka menganggap yang dipikirkannya sajalah yang prioritas. Hal ini juga pernah diingatkan oleh Arief Budiman ketika mengatakan bahwa semua orang ingin reformasi dilaksanakan hari Senin, padahal masih ada hari Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu.
Kelemahan-kelemahan di atas ditambah dengan kelompok-kelompok kritis sekarang bukan hanya mahasiswa, tetapi ada partai politik dan pers. Sehingga ada anekdot yang mengatakan, "Ya sudah zaman sekarang tidak perlu ada mahasiswa." Bagaimana membuat mahasiswa menjadi vital kembali, itulah yang masih menjadi persoalan semua mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar