Untuknya yang tak terangkum oleh segenap kata
Tersingkap lewat ribuan sabda
Untuk para pengabdi perangkai nada
Berpikir Semesta by Asa
Abad ke-21: era kebangkitan agama-agama.
Dan peradaban masa depan akan ditandai oleh
menonjolnya pemikiran intelektual yang ‘suprarasional’
dan kehidupan keagamaan yang ‘suprareligius.
-Alvin Toffler-
Oleh Hazrat Inayat Khan, mengandaikan kehidupan seperti untaian nada-nada, berpadu membentuk harmoni kehidupan. Dengan kata lain bahwa hidup laksana merangkai nada, dan musik yang dihasilkannya itulah yang akan kita persembahkan ke hadapan-Nya. Dan indah tidaknya musik yang tercipta, kita serahkan kepada-Nya untuk menyeleksinya. Mungkin ada, yang sampai menesteskan “air mata” Tuhan karena untaian nada kasihnya yang begitu dalam, dan seraya Berkata....masuklah engkau, wahai hamba-Ku yang penuh kasih ke dalam surga keindahan-Ku yang tanpa batas.
Menyaksikan dunia yang semakin turbulen akhir-akhir ini, -yang oleh Ronggowarsito disebutnya sebagai jaman edan, kalau tidak ikut edan akan ikut terlindas- mungkin sebaiknya kita kembali merenungkan makna “dari-Nyalah kita berasal dan kepada-Nyalah kita kembali”, sebaris untaian kata yang kadang keluar kala maut menjemput. Mungkin menarik kalau tidak membosankan, melihat minimal dua makna yang dapat lahir dari kalimat tersebut.
Pertama, bahwa alam semesta beserta manusianya merupakan kesatuan yang majmu’(bermacam-macam) karena bersumber dari yang maha satu.
Kedua, karena bersumber dari yang maha satu, maka diapun semestinya terstruktur dan pasti bisa diterima oleh akal –hal ini dimungkinkan karena posisinya dalam tatanan semesta yang tentunya mempengaruhi posisi-posisi yang lain, sebagai konsekuensi dari sistem/tatanan semesta yang sumbernya satu- Perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini tidak bermaksud mengkomparasikan antara Tuhan dengan Manusia, apalagi sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan adalah Manusia dan atau sebaliknya.
Sehingga munculnya berbagai anomali-anomali (penyimpangan-penyimpangan) entah itu dalam dunia sains seperti dalam teori-teori relativitas, dan atau dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan seperti tidak masuk akalnya berbagai peristiwa yang muncul dalam tayangan-tayangan kriminalitas atau politik, lebih disebabkan karena persoalan pengertian atau pemahaman kita yang belum sampai terhadap kondisi-kondisi tersebut. Sebuah gugahan untuk menjadi manusia-manusia yang berakal, manusia-manusia yang berpikir, melihat dan mendengar dalam bingkai hikmah dan keselamatan (daarissalaam) tanpa kecuali.
Memasuki era yang semakin mengglobal ini, selayaknya kita mencoba lebih berpikir universal dalam menilai setiap persoalan, bukan mencari siapa yang salah dan akulah yang benar. Globalisasi menyiratkan perbedaan, keterbukaan, dialog, kerjasama, bukan ketertutupan –yang oleh Fyodor Dostoyevsky disebutnya sebagai gejala awal dari kemandulan.
Seperti segalanya berasal dari-Nya, maka hidup adalah perubahan ‘energi’ menjadi ‘materi’. Untuk mengubahnya tentu melalui proses pengolahan/pengaturan-menjadi khalifah- sehingga sesuatunya yang dulunya mungkin hanya merupakan ide, akan menjelma menjadi materi, menjadi teknologi. Seperti ide tentang manusia/alam semesta dalam ‘benak’ Tuhan maka terciptalah ‘kehidupan’. Dan ketika ‘materi’ tersebut terurai kembali ke asalnya, maka itulah ‘mati’, kembali kepada-Nya.
Mungkin bukan sesuatu yang kebetulan, Marylin Ferguson pernah meramalkan bahwa alaf ketiga merupakan era Aquaria, sebuah momentum di mana manusia memasuki zaman penuh cinta dan cahaya, setelah pada alaf kedua manusia bumi berada dalam kehidupan yang gelap dan penuh kekerasan di bawah kaki bintang Pisces.
Wallaahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar