Arah Reformasi Hukum di Indonesia
oleh Mardjono Reksodiputro (sekretaris Komisi Hukum Nasional)
________________________________________
Pendahuluan
Tulisan singkat ini akan mengulas kebijakan reformasi hukum menurut Komisi Hukum Nasional (KHN). Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada KHN berkaitan dengan eksistensi, wewenang dan fungsi KHN.
Dari dua mandat yang diberikan oleh peraturan yang membentuk KHN (KepPres No.15/2000, tanggal 18 Pebruari 2000), hanya akan dibahas mandat kedua. Mandat ini berintikan kewenangan membantu Presiden menyusun rencana umum mengenai reformasi hukum dan untuk hal itu berwenang selaku pengarah atau “steering committee”. Mandat pertama (yang tidak akan dibicarakan) adalah memberikan pertimbangan kepada Presiden terhadap kebijakan umum yang disusun pemerintah, serta permasalahan hukum lain yang mempengaruhi kepentingan umum (public interest) dan kepentingan nasional (national interest ).
Status Komisi Hukum Nasional
Dari berbagai diskusi intern maupun pernyataan-pernyataan anggota KHN ke luar, dapat disimpulkan bahwa KHN merupakan suatu komisi yang harus bersikap dan bertindak independen. Salah satu tujuan sifat independen ini adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum dan lembaga-lembaga hukum. Sebagaimana dilaporkan oleh penelitian Bappenas tahun 1996, sistem hukum Indonesia berada dalam keadaan “gawat” (desperate but not hopeless). Temuan yang diperoleh studi tersebut menemukan adanya kelemahan-kelemahan dalam pembangunan hukum di Indonesia selama 30 tahun ini. Temuan ini yang disusul dengan kejadian-kejadian setelah tahun 1998, membenarkan pendapat bahwa fundamental (unsur-unsur dasar dan pokok) sistem hukum (termasuk sistem peradilan) Indonesia adalah lemah atau rapuh. Hal inilah yang mengakibatkan ketidakpercayaan warga masyarakat pada lembaga-lembaga hukum kita.
Tujuan kedua sifat independen KHN adalah memungkinkannya “berkomunikasi” dengan warga masyarakat mengenai aspirasi masyarakat dan cara-cara mengembalikan kredibilitas (kepercayaan didasarkan pada bukti dan nalar) lembaga-lembaga hukum. Permasalahan di sini adalah bagaimana melakukan perubahan (pembaruan) dalam sistem hukum kita dan lembaga-lembaga hukumnya, yang fundamental dan responsif terhadap keprihatinan dan aspirasi warga. Dalam kaitan ini tugas KHN adalah pertama-tama “more listening, more learning and more thinking” sebelum memulai langkah-langkah mengarahkan rencana umum reformasi hukum.
Keenam “public hearing” (dengar pendapat publik/umum) yang diselenggarakan KHN dalam tahun 2000 adalah dengan maksud lebih banyak “mendengar”, “belajar” dan “berfikir” tentang keenam program induk yang direncanakan sebagai “payung” reformasi hukum di Indonesia pada tahap awal dan fundamental (unsur dasar dan pokok). Dengar pendapat publik dengan kehadiran ± 25 % (dua puluh lima persen) peserta dari luar Jakarta (perguruan tinggi negeri dan swasta) dimaksudkan pula untuk menggalang kesatuan pendapat dalam melihat arah reformasi hukum yang diperlukan.
Arah Reformasi Hukum
Kalau melihat pada keenam program induk yang dikembangkan dalam rencana kegiatan awal KHN, terlihat keterkaitannya dengan temuan studi diagnostik perkembangan hukum di Indonesia yang diselenggarakan Bappenas tahun 1996, maupun Seminar Hukum Nasional yang diselenggarakan BPHN Departemen Kehakiman tahun 1997. Tampaknya KHN melihat reformasi hukum tahap awal ini harus diletakkan pada pembaruan hukum yang benar-benar menunjang pembangunan demokrasi dan masyarakat madani (civil society) yang kuat dan kokoh serta termasuk berakar pada birokrasi. Hal ini berarti bahwa semangat dan keyakinan pentingnya demokrasi serta perlu adanya pengawasan oleh masyarakat, pertama-tama harus ditanam dan dibangun pada lembaga-lembaga pemerintahan (tidak saja pada cabang eksekutif, tetapi juga cabang legislatif dan yudikatif).
Dalam kaitannya dengan pemikiran diatas KHN telah memilih 6 (enam) program induk dalam tahap pertama, ditambah dengan 3 (tiga) program induk pada tahap kedua.
Adapun enam program induk tersebut adalah:
A. Program meningkatkan kemampuan sistem peradilan ;
B. Program membangun sistem pemerintahan yang layak dan reformasi hukum administrasi;
C. Program meningkatkan peran legislasi DPR;
D. Program pendidikan hukum lanjutan, pengujian dan penegakan disiplin profesi hukum;
E. Program pengembangan hukum dalam rangka pemulihan ekonomi; dan
F. Program meningkatkan sistem peradilan pidana terpadu.
Tiga Program induk yang masih dirancang adalah:
G. Program anti-diskriminasi, meningkatkan peran perempuan dan perlindungan terhadap anak (terutama anak jalanan); dan
H. Program meningkatkan peran organisasi masyarakat madani, terutama melalui sistem pemilihan umum;
I. Program meningkatkan kemampuan pemerintahan daerah dalam rangka pemberian otonomi.
Penyusunan cetak-biru (blue print) reformasi hukum
KHN (yang terdiri dari 6 orang ) dengan staf sekretariatnya tidak berpretensi dapat menjalankan kesembilan program induk tersebut. Sesuai dengan mandat yang diberikan mereka hanya “mengarahkan” (bertindak sebagai steering committee) penyusunan “cetak-biru” (blue print) reformasi hukum yang akan dilakukan pemerintah. Penyusunan cetak biru ini dilakukan melalui beberapa tahapan:
1. Pembentukan Sub-komisi untuk setiap Program induk dan dalam setiap sub-komisi duduk 15 (lima belas) sarjana hukum, sehingga untuk enam program induk yang sudah siap telah terlibat 90 (sembilan puluh) sarjana hukum; mereka tidak digaji dan bekerja secara sukarela (kecuali mendapat uang rapat);
2. Menyelenggarakan dengar pendapat umum (publik) untuk setiap program induk; peserta tidak saja berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga daerah-daerah di luar Jawa;
3. Menyerahkan penyusunan cetak-biru setiap program induk kepada masing-masing sub-komisi, yang memberi arahan (sebagai sub steering committee) kepada sejumlah kelompok kerja (working groups); pada saat ini telah diidentifikasi 21 (dua puluh satu) kelompok kerja untuk keenam program induk yang ada;
4. Setiap “proyek” yang dikerjakan oleh suatu kelompok kerja akan ditawarkan pada kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan kalangan perguruan tinggi secara terbuka dan melalui “kerangka kerja : masukan-luaran “ (terms of reference – TOR);
5. Hasil kelompok kerja merupakan analisa permasalahan yang telah dibahas dalam suatu lokakarya dengan rekomendasi tentang langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah; yang terakhir ini dapat berupa kebijakan-kebijakan pokok yang perlu segera diambil (policy papers), maupun peraturan perundang-undangan yang telah disiapkan kelompok kerja; hasil kerja ini dinamakan “buku putih rekomendasi reformasi hukum” atau buku-putih (white-papers);
6. Buku-putih ini diserahkan kepada Presiden untuk diteruskan ke kabinet dan dibahas oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk Presiden untuk dilaksanakan sebagai bagian penyusunan kembali fundamental (unsur-unsur dasar dan pokok) sistem hukum Indonesia.
Kerjasama lembaga pemerintahan dan organisasi sejenis.
Pertanyaan yang pernah diajukan adalah apakah KHN tidak menduplikasi peran Badan Pembinaan Hukum National (BPHN) Departemen Kehakiman. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Dalam laporan studi diagnostik perkembangan hukum di Indonesia (Bappenas tahun 1996) direkomendasikan untuk membentuk “suatu Badan Reformasi Hukum yang bertanggungjawab langsung pada presiden”. Yang dicita-citakan adalah suatu Law Reform Commission yang dibentuk dengan undang-undang. Secara tersirat gagasan ini bermaksud meningkatkan dan mengubah status BPHN.
Kembali pada pernyataan di atas, menurut kami kerjasama KHN dengan BPHN diperlukan. Dalam tahapan penyusunan cetak-biru di atas, setelah tahap ke-6 Presiden dapat menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM untuk melaksanakan reformasi hukum yang disetujui kabinet. Pelaksana dilapangannya adalah BPHN yang memang mempunyai fasilitas yang cukup memadai (gedung, staf, perpustakaan, dll). Apabila dalam rencana KHN, penyelenggaraan Seminar Hukum Nasional akan diselenggarakan setiap tahun sebagai pertanggungjawaban pemerintah tentang kemajuan (progress report ) reformasi hukum, maka hal ini diselenggarakan dengan kerjasama BPHN. Yang perlu dilaporkan bukan saja yang diselenggarakan KHN dan BPHN, tetapi juga yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintahan lain (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Pemerintah Daerah) dan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang hukum (organisasi profesi hukum, PBHI, LBH, Komnas HAM, Komisi Ombudsman, ICW, PSHK dan lain-lain).
Dari uraian singkat di atas kami berpendapat bahwa kemungkinan “tabrakan” antara peran KHN dan lembaga pemerintahan serta organisasi sejenis dapat diminimalisir.Tidak selalu “dipaksakan keadaan harmonis” dengan segala unsur “tenggang rasa”. Menurut kami “konflik-sehat” diperlukan dalam mengubah visi kita tentang prioritas dalam reformasi hukum. Saluran menyampaikan perbedaan pandangan ini adalah melalui Seminar Hukum Nasional tahunan. Janganlah lupa, kalau kita sepakat bahwa salah satu krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia adalah “krisis hukum”, maka untuk memperbaiki keadaan ini secara fundamental diperlukan “deep structural reform” pada lembaga dan sistem hukum kita. Dan untuk menetapkan prioritas, maka seluruh unsur komunitas hukum harus bersedia bekerja keras bersama-sama.
Pergeseran Sistem Hukum
Krisis multidimensi yang sangat menyengsarakan ini sudah berjalan selama tiga tahun. Meski sudah dibentuk berbagai dewan, team-team, LSM atau NGO-NGO dan lain sebagainya, ditambah lagi dengan diselenggarakannya berbagai seminar, loka-karya, forum-forum dialog maupun rembug-rembug, namun dampak krisis berkepanjangan ini disana-sini malah menjadi-jadi. Misalnya, seperti nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS yang semakin terpuruk, semakin menjadi-jadi capital flight dan lain sebagainya.
Kita maklumi bahwa Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami krisis ekonomi yang sangat berat seperti sekarang ini, namun negara-negara lain di Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan Philipina juga mengalami krisis yang sama. Yang sekarang menarik untuk dicermati adalah, mengapa negara-negara tersebut sudah mampu keluar dari krisis, sedang Indonesia belum. Apakah keberhasilan mereka karena mereka memiliki sistem hukum yang berbeda dengan yang dimiliki Indonesia yang selama ini masih mengacu pada sistem hukum kontinental Eropa.
Salah satu upaya pemulihan di bidang ekonomi adalah dengan melakukan rekapitulasi pada sistem perbankannya. Bila rekapitulasi sudah selesai dilaksanakan, diharapkan mampu meluncurkan dana untuk 'menghidupkan kembali' sektor riil, yang akibat krisis berkepanjangan ini juga mengalami keterpurukan.
Rekapitalisasi. jelas memerlukan dana segar. Dan ini jelas tidak mungkin dilakukan dengan cara 'mencetak uang', yang bila ini dilakukan, sudah bisa dipastikan malah akan menghancurkan seluruh sistemnya. Jadi perlu dicarikan alternatif lain untuk mendapatkan dana segar tersebut.
Alternatif lain untuk mendapatkan dana segar adalah investasi. Investasi pada umumnya dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, investasi portopolio yang dilakukan melalui bursa modal. Investasi macam ini biasanya kurang begitu disukai, karena sewaktu-waktu investasi atau modalnya bisa dibawa keluar. Jadi biasanya berjangka pendek. Kedua, dilakukan sebagai FDI atau Foreign Direct Investment. Investasi langsung ini biasanya dianggap sebagai investasi jangka panjang. Karena FDI ini biasanya langsung digunakan untuk membangun pabrik atau industri.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa meski pemerintah sudah melakukan promosi besar-besaran untuk merangsang calon investor, ternyata kebanyakan dari mereka hanya melakukan wait and see dengan hampir selalu mengharapkan adanya 'kepastian hukum'. Yang harus dikonotasikan harapan perlu diadakannya upaya untuk mengecilkan atau meniadakan risiko finansial atau investasi (financial risks) dan atau risiko usaha (business risk).
Terlepas dari ada atau tidak adanya ancaman terhadap keamanan fisik, namuan tanpa adanya suatu kepastian hukum tampaknya calon investor, terutama yang datang dari manca negara, akan tetap melakukan 'wait and see'. Perlu adanya kepastian hukum yang diminta atau diharapkan para calon investor, biasanya disini diterjemahkan sebagai tidak atau kurang adanya supremasi dan atau penegakan hukum.
Untuk tujuan itu pemerintah sedang giat-giatnya membenahi sistem peradilan kita. Salah satu yang sedang dilakukan adalah untuk mengganti mungkin seluruh Hakim Agung di lembaga Mahkamah Agung. Suatu pertanyaan yang perlu diajukan, bila penggantian sejumlah hakim agung sudah dilakukan, apakah itu akan menjamin tidak akan ada KKN lagi. Bukan di lembaga Mahkamah Agungnya, tapi ditempat-tempat lain baik di sektor formal maupun informal. Rasanya, tetap akan ada KKN.
Negara kita sudah sangat dikenal sebagai negara 'kaya' tapi yang paling korup. Kalau tidak memegang ranking nomor wahid atau nomor satu, ya sebagai runner-up-nya. Ironisnya adalah, bahwa sampai sekarang belum ada satupun dari koruptor kakap yang berhasil diseret ke meja hijau dan dijatuhi vonis yang setimpal dengan perbuatannya. Tampaknya sistem hukum kita yang warisan kolonial Belanda yang juga masih mengacu pada sistem hukum kontinental Eropa (waktu itu), sudah tidak sesuai atau tidak mampu lagi menangani dan menyelesaikan masalah KKN tersebut, Jadi masalahnya kemungkinan besar terletak pada sisi hukum peraturan perundangannya.
Suatu kenyataan yang juga menarik untuk dicermati adalah, mengapa yang mengharapkan adanya 'kepastian hukum' adalah para calon investornya dan justru bukan para pakar hukumnya. Kepastian hukum ini bagi para calon investor tampaknya harus diterjemahkan atau diartikan sebagai 'Kepastian Berusaha' yang mampu menekan, memperkecil, bahkan mengeliminir risiko berusaha dan atau risiko finansial alias investasi.
Masih banyak lagi masalah-masalah yang sudah menjadi kenyataan yang bisa ditengahkan. Namun, dari dua kenyataan di atas kiranya sudah cukup untuk disimpulkan bahwa sistem hukum (Kontinental) kita sudah tidak sesuai atau tidak mampu lagi untuk mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industrinya. Solusinya, segera menumbuh-kembangkan Hukum Ekonomi dan atau Regulasi Ekonomi yang mempunyai kekuatan hukum, contohnya Aircarrier Economic Regulation yang merupakan suatu bagian dari Federal Aeronautics Act atau FAA-1958 dari AS yang tentunya menganut sistem hukum Anglo Saxon.
Sudah tidak terbilang banyaknya pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan maupun usul-usul tentang hukum Anglo-Saxon yang disampaikan khusus melalui media cetak dalam sepuluh tahun terakhir ini. Salah satu yang dikutip dari Harian Kompas yang terbit hari Sabtu 20 Februari 1993: "Indonesia adalah satu-satunya negara yang sistem hukumnya berkiblat pada Eropa Kontinental, yang dikelilingi negara-negara Asia Tenggara yang berkiblat pada Anglo Saxon seperti Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand," ujar Frederick Heemskerk, Ketua Organisasi Advokat Belanda, NOVA.
Mudah-mudahan sudah ketemu jawabannya mengapa Indonesia masih belum juga bangkit dari krisis berkepanjangan sekarang ini, sedang negara-negara tetangga kita sudah tumbuh dan berkembang secara lebih meyakinkan. Bukankah sudah waktunya untuk secara bertahap bergeser ke sistem hukum Anglo Saxon. (Cartono Soejatman)
Etika Seksual
PENDAHULUAN
Zaman benar-benar berubah dan dalam waktu yang cepat perubahan benar-benar total. Dan apakah hal itu juga akan merubah tatanan hidup masyarakat? Dan apakah itu juga harus merubah etika lama menjadi etika baru yang penuh penyesuaian yang dipaksakan? Tentu saja hal yang bertele-tele seperti itu tidak usah dilakukan, kalau tatanan hidup yang digunakan berdasarkan Al-Quran ul karim. Dalam hal ini yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah masalah kebebasan seks.
Kebebasan seks yang dominan disebut sikap seksual yang negatif sudah sekian lama menggerogoti moral dan nyawa masyarakat kita, yang selama hidupnya ‘katanya’ mereka (berlabel) Islam. Masyarakat seharusnya takut dengan berbagai macam penyakit psikosomatik dan penyakit rohani yang akan diderita akibat free seks ini.
Apa yang melatar belakangi free seks ini, Apa akbibatnya dan bagaimana tindak lanjut seharusnya dalam mengatasi free seks ini sudah sering dibahas oleh para psikolog. Kalau menurut dunia barat, memang free seks ini tidak seberapa dilarang. Malah sekarang dunia barat percaya akan keharusan menghormati dan membebaskan hawa nafs seksual dengan jalan membuang kekangan-kekangan tradisional. Karena memang sudah barang kenyataan kalau orang barat itu lebih menyukai kebebasan seksual. Mereka menyatakan bahwa moralitas apa pun yang telah mereka warisi tidaklah membawa apa-apa selain konotasi religius. Mereka mengklaim bahwa moral-moral baru zaman sekarang ini bukan hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan filosofis, tetapi juga dalam alasan ilmiah.
Saat ini, apa yang sedang berkembang pesat di barat (baca: free seks), juga berkembang pesat dimasyarakat kita ini. Yaitu seksual negatif baik yang tradisional maupun yang modern.
Dan kalau ‘pagar pencegah’ (baca: agama dan moral) pola seksual free seks, dibiarkan luntur dan tidak tercetak dalam diri, maka masyarakat akan rusak dan berpenyakit, baik itu secara jasmani maupun rohani dan batiniah. Berbagai macam masalah pula akan timbul dibelakangnya.
Seks bebas, adalah pola perilaku seks bebas dan tanpa batasan, baik dalam bertingkah laku seksnya maupun dengan siapa dia berseks ria. Sungguh suatu perilaku yang lebih rendah daripada tingkah laku binatang. Manusia memang seperti itu. Disini, dapat diartikan juga bahwa anjuran pembebasan seksual manusia dari kekangan moral tradisional berarti pernyataan bahwa tidak ada sesuatu pun yang jelek, buruk, ataupun hina, yang dapat timbul dari seks. Anjuran ini tidak menerima pembatasan apa pun dalam seks selain dari batas alami seperi dalam hal makan dan minum, nafs belaka.
Barat dengan mudah menyemarakkan program seks bebasya di bumi kita tercinta ini, karena deen dalam tiap individu mudah luntur. Apalagi deen yang menempel tadi hanya sekedar menempel secara turunan orang tua, tidak melalui pencarian dan penggunaan rasio dalam berkeyakinan. Deen dalam diri kita harus dipenuhi cahaya iman, taqwa dan ilmu. Sehingga tidak mudah luntur dan terserat ke dalam lubang hitam setan.
Penulisan makalah tentang ‘apa dibalik kebebasan seks’ ini diharapkan bisa melihat paradigma seks bebas dari segi ilmiah dan tidak hanya mengetahui seperti apa contoh riilnya seks bebas dan penanggulangannya saja. Akan tetapi makalah ini hendak mengajarkan umat manusia tentang etika seksual yang sehat dan islami, yang sesuai moral dan dijamin tidak akan pernah ketinggalan zaman. Karena Etika seksual dalam islam ini, senantiasa diberi sentuhan Qurani yang luwes dan berlaku sepanjang masa.
Dan juga diharapkan dengan makalah ini bisa mnyadarkan umat manusia yang membacanya, bahwa manusia itu adalah makhluk yang memiliki (karakteristiknya) iman dan ilmu. Dan apabila tidak bisa menyelami segala suatu hal dengan keyakinan dan wacan keilmuan, maka jangan berani-berani menyebut dirinya sebagai manusia. Yang mana pelaku free sks sudah barang tentu adalah makhluk yang tanpa iman dan juga tak ada ilmu yang menyertainya. Yang ada hanyalah kejahilan dan hawa nafsu semata. Yang memberkahi tiap langkah mereka bukanlah Allah Ta’ala, akan tetapi iblis la’natullah.
Jadi pada intinya makalah ini membahas ‘apa yang ada’ di balik pikiran orang yang mendukung free seks. Makalah ini bukan berisi lagu lama tentang, apa saja macam free seks, siapa saja pelakunya dan bagaimana menanggulanginya yang itu-itu saja. Tapi ini benar-benar murni berisi pemikiran atau falsafah pemikiran para peminat seks bebas.
PEMBAHASAN
METAFISIK DARI KEBEBASAN SEKSUAL
Apa yang membuat orang ‘mencanangkan’ seks bebas? Pada waktu yang sama kita juga pasti akan berpikiran bahwa kita harus menahan diri dari menggalakkan kebebasan seks tanpa kekangan. Akan tetapi pada dasarnya yang melatar belakangi maraknya ‘free seks’ adalah orang-orang yang mempunyai pola pikir seperti berikut:
1. kebebasan harus dijamin setiap individu, selama ia tidak mengganggu kebebasan orang lain.
2. semua keinginan dan sikap seksual yang merupakan pembawaan haruslah dipupuk secara bebas dan diusahakan pemenuhannya tanpa halangan atau kekangan, karena menghalanginya akan membuat frustasi atau membawanya kepada kekacauan-kekacauan ego.
3. setiap dorongan alami akan mereda setelah dipenuhi, dan akan memberontak serta menimbulkan ekses-ekses bila dikenai kekangan moral yang negatif atau larangan yang salah pandang.
Para penganut seks bebas memberikan argumentasi bahwa ketidakstabilan emosi timbul karena diskriminasi di antara naluri-naluri alami dan dorongan-dorongan nafsu, sehingga hanya sebagian daripadanya saja yang dipenuhi sedang yang lainnya tetap mengalami frustasi. Mereka juga mengatakan bahwa pembebasan proses alamiah pemenuhan nafsu seksual juga akan mencegah kejahatan, keburukan dan pembalasan dendam yang menjadi ciri-ciri dari situasi yang melibatkan pembatasan-pembatasan moral. Dalam memburu kebebasan seks mereka melakukan kesenangan-kesenangan yang tidak terbatas dalam eksperimentasi seksual dengan seseorang, bukan saja sebelum menikah tapi bahkan sesudahnya. Mereka (para pendukung free seks, pelaku free seks) menunjukkan bahwa dengan adanya sarana-sarana konstrasepsi yang murah dan cukup aman, kenikmatan seks dapat dianeka ragamkan tanpa perlu melibatkan resiko kehamilan, baik yang sah maupun tidak. Tindakan seperti ini sangat tidak memanusiakan manusia. Bahkan menghewankan manusia pun tidak.
DISIPLIN SEKS
Kebutuhan untuk memperluas dan mengkondisikan instink dan dorongan nafsu alami individu dengan cara yang lunak adalah kebutuhan yang pokok. Akan tetapi harus ada cara yang sehat, yang bnar secara moral dan agama. Yang tidak membuat makin banyak ketimpangan dan menimbulkan masalah sesudahnya. Sebenarnya kalau ingin menelaah masalah ‘siapa otak dibalik’ pencetus pembenaran kebebasan seks, adalah mudah. Hanya orang yang sakit saja yang membenarkan dan melegalkan seks bebas. Masalah pemuasan instink jasadi dan nafsu-nafsu yang spontan, dapat diserahkan saja kepada penilaian orang itu sendiri-sendiri. Karena hanya intelek manusia saja yang dapat mencegah setiap perkembangan instink yang tidak sehat (baca: hawaa nafs). Seperti apa yang dibilang oleh Imam 'Ali as: “Jiwa adalah tempat bisikan-bisikan hawa nafsu. Sedangkan akal berperan untuk menolak dan meredamnya.” [1] Maksud dari hadith diatas bahwa hawa nafsu bersemayam dalam jiwa manusia dan hanya untuk menimbulkan bisikan-bisikan jelek. Sebaliknya, akal tampil sebagai penguasa yang berhak menghukum, menolak dan mencegah.
Dan sebenarnya pula, orang dapat dengan sengaja mengelola dorongan-dorongan alaminya sendiri dan memastikan bahwa dorongan-dorongan itu tidak dinegatifkan atau dirugikan dengan cara yang tidak sehat. Dan orang yang bisa berbuat seperti itu adalah orang yang beriman, bertaqwa dan berakal. Dan apabila satu komponen tersebut tidak lengkap, maka akan pincang. Apabila dua komponen tersebut tidak ada, maka akan buta. Dan apabila tidak ada ketiga-tiganya, maka bukan manusia lah ia.
Akibat dari ketidakdisiplinan seks ini tidaklah sedikit. Banyak gangguan syaraf dan mental yang mempengaruhi individu, dan bahkan masyarakat secara keseluruhan, yang berkenaan dengan instink seksual yang tidak disalurkan secara sehat dan agamis. Memang yang ditawarkan oleh para ‘pembela’ seks bebas (baca: pelaku seks bebas), adalah tetap membiarkan manusia menikmati kepuasan sesuka hati mereka, tanpa peduli akan kesadaran moral atau komitmen yang sadar akan arti kesucian, kesakralan suatu hubungan dan kelurusan budi. Semua ini dilakukan hanya atas dalih agar manusia terbebas dari tekanan batin psikologis, karena tak bisa menyalurkan instink seksnya secara bebas. Ini adalah penyakit! Nampaknya mereka percaya bahwa tidak ada yang lebih baik bagi seorang individu daripada menempatkan dirinya dibawah perintah hatinya sendiri, sementara membiarkan hati itu sendiri dikuasai oleh nafsu.
Disiplin seks harus diterapkan sejak dini. Sedini mungkin seperti mengajarkan disiplin buang air kecil (buang hajat) pada anak kecil. Harus ada semacam pelatihan. Mengenai hal ini, mengatakan bahwa memuaskan dorongan seks adalah seperti membuang hajat, seperti kencing atau buang air besar adalah sangat menyesatkan. Dalam proses pemuasan dorongan seks, tidak ada melepaskan diri seseorang dari beban-beban atau kondisi moralnya sendiri. Sebaliknya, menjaga moralitas seseorang tidak dapat disamakan dengan menahan air kencing dalam kandung kemih. Karena, berbeda dengan menjaga moral, menahan air kencing akan menyebabkan badan merasa tidak enak dan sakit.
Kemampuan manusia untuk mendapatkan kepuasan dari nafsu-nafsu yang alami maupun nafsu-nafsu yang diperolehnya kemudian, tidaklah terbatas secara instinktif sebagaimana halnya pada hewan. Akan tetapi, pembatasan etika dan pengaturan prosedural adalah perlu untuk peningkatan praktek-praktek yang adil dalam lapangan ekonomi dan politik. Seperti itu pula, pembatasan dan pengaturan dalam perilaku seksual serta kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengannya, yang konsisten dengan kebutuhan kesucian dan kelurusan budi, haruslah juga bisa diterima setiap orang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam masalah seks bebas ini, pencegah sekaligus penanggulangannya adalah kontrol diri dan agama, iman dan taqwa, ilmu dan akal sehat. Seks bebas itu adalah tindakan dari nafsu yang tidak terkontrol oleh akal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Janganlah kalian ikuti ajakan hawa nafsu” [2] dan berulang-ulang kali Allah Ta’ala memperingatkan kita semua: ”...dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...” [3] Senjata yang perlu digunakan untuk memerangi seks bebas ini, bukanlah lagi penyuluhan masyarakat tentang pentingnya kondom. Akan tetapi terapi otak dan pengasahan jiwa murnilah yang perlu dijejalkan dalam otak dan benak masyarakat. Bukan hanya diberikan secara perlahan-lahan lagi, akan tetapi sedikit diberi paksaan. Sama dengan halnya kalau mereka memaksa otak untuk pergi cepat-cepat ketika mereka ingin memuaskan hasrat seksualnya. Kesimpulan cepat adalah, akal dan agama selalu bahu membahu dalam diri manusia dan di masyarakat luas untuk menghadang hawa nafsu, dalam hal ini adalah Kebebasan Seks.
SARAN
Haruslah ditekankan dalam benak orang yang ngefans dengan freeseks, bahwa hawa nafsu yang mereka miliki itu merusak jiwa mereka sendiri. Hawa nafsu itu adalah PENYAKIT! Dan syahwat adalah penyakit yang mematikan. Sedang obat mujarabnya ialah kesabaran.” Kalau diasumsikan bahwa freesex adalah puncak dari hawa nafsu, maka, freesex adalah racun. Freesex adalah kendaraan fitnah. Freesex adalah keruntuhan dan kehancuran. Freesex itu kemusnahan dari masyarakat sehat. Komunitas freesex seharusnya adalah musuh manusia. Dan terlebih lagi freesex adalah mendisfungsikan akal! “Mengikuti hawa nafsu adalah penyakit segala penyakit” [4]
DAFTAR PUSTAKA
Muthahhari, Murtadha. 1982. Sexual Ethics in Islam and In the western World. Teheran: Islamic Propagation Mission.
Al-Ashify, Muhammad Mahdi. 1997. Hawa Nafsu. Bangil: YAPI (Yayasan Pesantren Islam).
Fadhlullah, Sayyid Muhammad Husain. 1997. Dunia Wanita dalam Islam. Lebanon: Dar al Malak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar