udah tiga bulan Partokelenjo meninggalkan anak dan bininya yang lagi hamil tua. Tiga bulan pula ia berada di rumah persembunyian (nama tempat terpaksa dirahasiakan) sejak meletusnya peristiwa huru-hara itu. Aksi damai yang menuntut kenaikan upah dan cuti
haid bagi buruh-buruh perempuan itu berakhir dengan huru-hara yang memporakporandakan pabrik milik seorang konglomerat anak dari seorang dikatator tua yang telah berkuasa tiga dekade di sebuah negara yang rakyatnya hidup dalam kepasrahan yang menakutkan, dan pabrik itu adalah tempat Partokelenjo dan kawan-kawannya bekerja. Di pabrik itu pulalah Partokelenjo berkenalan dengan seorang buruh perempuan yang datang dari pelosok desa yang tandus mengadu nasibnya ke kota kecil itu, yang akhirnya kelak buruh perempuan itu menjadi bininya, yang sekarang lagi berperut bunting mengandung anak mereka yang kedua.
Selama hidupnya Partokelenjo yang lulusan Sekolah Menengah Tingkat Pertama itu tak pernah membayangkan bahwa nasibnya akan jadi seperti ini. Menjadi buronan negara dan namanya disebut-sebut dalam koran-koran lokal dan juga media nasional sebagai seorang biang penggerak dibelakang kerusuhan buruh yang menelan kerugian materi dan tewasnya dua orang buruh ketika bentrokan dengan tentara yang mengobrak-abrik kerumunan massa yang telah kalap dan marah. Untuk mengetahui siapa sebenarnya Partokelenjo yang jadi populer dan seakan jadi orang penting sehingga Markas Besar Angkatan Bersenjata melalui Komandan Keamanan Negara, Jenderal Brengos menyatakan Partokelenjo dalam siaran persnya tiga hari setelah peristiwa yang menggemparkan itu adalah seorang burunan politik yang telah mengancam stabilitas nasional dan pengganggu ketenangan umum.
***
Baiklah, ada baiknya kita melihat sejarah singkat perjalanan hidupnya. Pada tahun 1969 seorang bayi muncrat ke bumi yang rawan dan penuh kegelisahan ini. Adapun orang tua yang melahirkan, mengasuh dan membesarkan anak tersebut adalah keluarga petani yang sederhana, yang kemudian memberi nama buat anak mereka Partokelenjo adapun maksud dan tujuan pemberian nama yang agak aneh ini, sejauh ini belum dapat kita telusuri.
Seperti layaknya anak-anak keluarga petani yang tanah dan buminya tergolong subur, Partokelenjo menghabiskan masa kecilnya dalam suka dan duka Ia menggantungkan cita-citanya setinggi bintang-bintang di langit, seperti yang sering dinasehatkan orang tuanya. Tentunya ini melebihi tinggi mainan layanganya yang melambai-lambai di angkasa menyambut musim panen, dengan wajah-wajah petani yang berseri-seri bercampur-aduk dengan rasa gelisah. Entah memikirkan apa mungkin hutang, mungkin juga mereka khawatir dengan hasil panen mereka tidak sesuai dengan yang ditaksir sebelumnya. Namun dibalik itu semua adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya ketika para petani siap menuai panen mereka: hasil dari tetes keringat mereka selama berbulan-bulan. Dan Partokelenjo kecil, yang masa kecilnya penuh suka dan duka bercita-cita jadi tentara, karena ia melihat Kopral Tokek anak kepala desa yang sangat dihormati dan ditakuti anak-anak kampung. Ada kegairahan yang sangat menggiurkan bagi Partokelenjo pada seragam loreng yang baginya merupakan warna yang gagah itu.
Ketika usianya baru 11 tahun sang ayah meninggal dunia karena serangan muntaber yang melanda desa mereka. Ibunya harus menanggung sendiri beban keluarga sejak kematian ayahnya. Sejak saat itu pulalah Partokelenjo harus membantu ibu bersama seorang kakak wanitanya bekerja di sawah setelah pulang sekolah. Anak yang mulai besar ini menjalani hidup dengan segala kepahitannya. Sejak kematian ayahnya dan puluhan penduduk lainnya yang terserang wabah muntaber, ia tidak lagi punya cita-cita menjadi seorang serdadu yang gagah seperti Kopral Tokek, Partokelenjo kelak ingin jadi seorang dokter biar bisa membantu pennduduk desanya yang tergorong orang-orang tak mampu itu. Dia tidak ingin jadi tentara lagi. Yah begitulah hidup! Semua yang pernah dicita-citakan Partokelenjo kecil tumpas bersama keberuntungan yang tidak pernah berpihak padanya. Pada usia menjelang dewasa, pemuda yang hanya lulusan Sekolah Mengengah Pertama itu pergi ke kota dan tinggal bersama pamanya yang buruh dipabrik textil. Partokelenjo dalam usia semuda itu harus bekerja keras, keringat demi keringat menetes dari tubuhnya yang sangat muda itu untuk bisa bertahan hidup. Berbagai macam pekerjaan pernah ditempuhya dari seorang kernet, bekerja di salah satu bengkel, dan kemudian jadi penarik beca di kota S, yang akhirnya Partokelenjo menjadi seorang buruh di pabrik milik salah seorang konglomerat anak dari seorang diktator tua. Dan di sanalah Parto kemudian menemukan bininya sebagai pendamping hidupnya….Ia tidak jadi tentara seperti Kopral Tokek, dan tidak pula jadi seorang dokter. Seperti yang pernah ia cita-citakan di masa kecilnya.
***
Dari berbagai pengalaman hidup yang telah dilewatinya, tentunya ia tahu arti ketakberdayaan dan kepasrahan yang sangat melelahkan. Dan Partokelonjo yang pernah punya cita-cita setinggi bintang di langit tentunya merasa tertarik ketika para mahasisa datang ke komplek-komplek perumahan buruh menerangkan cara-cara menuntut kenaikan upah, berbicara tentang hak-hak buruh dan juga berbicara tentang perlunya sebuah organisasi yang memperjuangkan kepentingan buruh. Partokelenjo memang merasa bahwa ada sesuatu yang sangat tidak adil di negri yang selama tiga dekade diperintah oleh seorang diktator tua ini. Dia tahu bahwa keringat yang dia jual dengan harga 4000 rupiah itu akhirnya akan membawa keuntuangan yang sangat berlipat ganda buat tuan-tuan konglomerat yang akan menjual hasil kerja buruh-buruh itu dalam bentuk barang yang sangat mahal. Dan Partokelenjo juga sadar dan tahu bahwa seorang buruh belum tentu mampu untuk memakai sepatu hasil dari keringatnya sendiri yang harganya selangit itu. Buruh tak akan mampu membeli sepatu Nike! Boro-boro mikirin mau memakai sepatu Nike. Uang dari hasil kerjanya saja belum tentu bisa membuat seorang manusia bisa bertahan hidup secara wajar.
Panjang cerita, Partokelenjo terlibat dengan aksi-aksi mogok buruh yang menuntut kenaikan upah, kebebasan berorganisasi di lingkuangan buruh. Ia tahu bahwa ada organisasi di pabrik-pabrik tuan konglomerat yang mengatasnamakan kepentingan buruh. Dan ia juga tahu bahwa organisasi ini hanya badan legal yang disahkan pemerintah yang berkuasa untuk mendongkel hak-hak dan kepentingan buruh.
Kesadaran adalah matahari , ia sadar ada sesuatu yang tidak beres, dan untuk memulihkan haknya sebagai manusia hanya dengan satu jalan: membuat aksi dan memperjuangkan nasib mereka kaum buruh. Konglomerat dan kaum penguasa tidak akan pernah memperbaiki nasib buruh. Hanya merekalah yang akan memperbaiki nasibnya sendiri bersama orang-orang yang perduli sama nasib dan penderitaan mereka. Dia ikut berorganisasi, ikut dalam aksi-aksi buruh dan mahasiswa ke gedung Perwakilan Rakyat, dia mengajak teman-teman buruhnya melakukan mogok massal untuk menuntut hak-hak mereka. Dan akhirnya pantat dan tubuhnya ditendang dan diinjak-injak tentara yang salah satu fungsinya memang hanya untuk menjaga keamanan modal dari sang konglomerat. Dalam setiap aksi-aksi buruh namanya sering disebut-sebut koran-koran nasional yang haus sensasi, juga dia dan rumahnya jadi bulan-bulan intel-intel negara. Pernah suatu kali dia ditangkap dalam aksi massa di kota S, dengan matanyanya yang bengkak lebam (mungkin hadiah dari popor senapan Kopral Tokek?) ia dilepaskan tentara karena tidak memilki bukti yang nyata sebagai otak dari aksi mogok buruh itu.
Dari rumah persembunyiannya Partokelenjo masih ingat waktu istri yang sangat disayanginya berpesan sebelum hari huru-hara itu—yang menjadikannya jadi buronan nasional—supaya Partokelenjo berhati-hati karena belakangan ini orang-orang tak dikenal berambut cepak mengawasi perkampungan mereka dan sering bertanya-tanya pada tetangga sebelah tentang seorang yang bernama Partokelenjo. Ini bukan pertama kalinya para intel-intel memata-matai Partokelenjo, dia juga sudah tau bahwa intel-intel sering membubarkan dan menggrebek diskusi-diskusi mahasiswa dan menyita apa saja yang bisa dijadikan barang bukti sebagai komplotan yang dituduh sebagai pengganggu ketenangan umum ini.
Memang Partokelenjo sedikit keras kepala mengabaikan begitu saja peringatan istirinya yang lagi bunting tua itu. Namun istrinya juga tahu apa yang dilakukan sang suami tidak mengandung kesalahan, karena dia juga tahu bahwa seorang warga negara selain memiliki kewajiban membayar pajak dan segala tetekbengek lainnya, juga memiliki hak untuk mengeluarkan suaranya dan menuntut yang merupakan hak-hak mereka yang telah dirampas sang penguasa, sang diktator tua yang telah berkuasa selama tiga dekade. Setelah bosan mengeluh dan berdiam diri dalam kekalutan, orang kadang membutuhkan bertindak melampaui batas ketakutannya dan menjadikannya bagaikan seekor macan yang mengaum lapar.
Ketika aksi yang menggemparkan itu berlangsung Partokelenjo memang terlibat dalam pengorganisiran massa buruh, dialah yang menyebarkan selebaran-selebaran yang berisi seruan-seruan untuk mogok dan tuntutan-tuntutan kenaikan upah buruh dari 4000 rupiah menjadi 7000 rupiah, serta hak cuti haid bagi buruh-buruh perempuan. Juga dalam tuntutan mereka mengutuk intervensi tentara kedalam pabrik yang menggebuk dan melibas aksi-aksi buruh yang menuntut hak-hak mereka sebagai buruh sekaligus sebagai manusia, yang seharusnya wajar dihargai seperti layaknya manusia. Bukankah dalam negeri ini juga sering terdengar berita bahwa seorang buruh bisa begitu saja nyawanya dilenyapkan manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab karena memperjuangkan haknya?
Ketika aksi dimulai Partokelenjo datang belakangan bersama rombongan buruh lainnya. Sementara itu di depan pabrik telah berkumpul kerumunan buruh lengkap dengan spanduk-spanduk yang bertuliskan tuntan-tuntutan mereka. Tentara sudah siap sedia dengan barisan anti huru-haranya. Entah dari mana mereka datangnya, tiba-tiba saja dua truk militer dan sebuah truk kepolisian telah nongkrong di luar gerbang pabrik. Masa masih tenang ketika seorang aktivis buruh berpidato tentang maksud dan tujuan aksi itu.
Kerumunan massa itu semakin membludak dan suasana mulai memanas ketika pihak pabrik tidak memberikan tanggapannya pada tuntutan buruh-buruh ini. Massa mulai bergerak dan Partokelenjo memimpin massa untuk keluar dari lingkungan pabrik menuju ke gedung Perwakilan Rakyat. Apa yang terjadi selanjutnya? Massa dihadang tentara dan polisi. Panik. Mereka mencoba menerobos barisan pasukan anti huru-hara yang mulai bringas menggebuk siapa saja. Partokelenjo dan teman-temannya yang lain tidak bisa lagi mengendalikan suasana yang telah panas dan panik itu. Di sana-sini terdengar teriakan buruh-buruh perempuan, ada yang kena injak dan ada yang digebuk tentara. Akhirnya buruh-buruh itu mencoba melawan dengan kekuatan yang mereka miliki. Mereka menjobol pagar pabrik dan berhamburan kejalan raya, yang sebagian terkepung di halaman pabrik melempari tentara dengan batu-batu dan benda apa saja yang dapat melampiaskan kemarahan mereka. Perusakan disana-sini telah berlangsung oleh massa yang telah kalap dan frustasi, sementara itu tentara terus menghadang mereka dan mengejar siapa saja yang bisa untuk ditendang dan digebukin habis-habisan. Tembakan gas air mata sempat membuat barisan buruh itu nyiut nyalinya. Namun tiba-tiba seseorang yang tak di kenal berteriak lantang:
“Serbu!”
“Serbu!”
Dan massa kalap lagi melihat tentara yang ternyata juga siap menyerbu mereka. Barisan buruh yang berhasil menjebol pagar lari terbirit-birit sambil melempar barisan tentara dengan batu dan memaki-maki tentara karena kekesalan dan kemuakan mereka. Bentrokan terus berlangsung..dan di sana-sini buruh-buruh mencoba bertahan dari serangan gas air mata.
Massa bubar setelah tiga kali tembakan peringatan oleh tentara. Beberapa orang aktivis buruh di tangkapi dan dimasukkan kedalam truk militer. Ada juga mahasiswa yang terlibat dalam aksi itu. Partokelenjo selamat dari incaran tentara. Lari terbirit-birit dan bersembunyi di rumah salah seorang penduduk dengan kepala bocor.
Besoknya media massa lokal dan nasional memberitakan bahwa aksi buruh yang berakhir dengan kerusuhan dan tewasnya dua orang buruh itu ditunggangi mahasiswa dan pihak ketiga yang berbau gerakan komunis. Nama Partokelenjo dan beberapa nama mahasiswa disebut-sebut sebagai otak dibelakang kerusahan itu. Dan sudah seperti lazimnya bahwa pers yang baik di negara yang dibangun dengan ketakutan rakyatnya adalah pers yang menyuarakan kepentingan pihak penguasa. Koran lokal maupun koran nasional tidak memberitakan bahwa buruh-buruh yang melakukan aksi itu adalah buruh-buruh yang pertamanya mengadakan aksi damai di pabrik milik salah seorang konglomerat, anak seorang diktator tua yang telah berkuasa selama tiga dekade—dan buruh-buruh itu hanya menuntut hak mereka sebagai pekerja dan perlakuan yang lebih manusiawi.
***
Sekarang dari rumah persembunyiannya Partokelenjo tahu bahwa dia telah jadi seorang yang terkenal dan seakan adalah seorang yang sangat penting sehingga Markas Besar Angkatan Bersenjata langsung menuding bahwa Partokelenjo dan kawan-kawannya yang mahasiswa itu adalah buronan negara yang membahayakan stabilitas nasional. Sehingga seorang menteri negara melalui petunjuk Bapak Diktator Tua perlu mengeluarkan surat larangan dan pembubaran organisasi buruh serta kegiatan mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat.
Begitulah kisah seorang Partokelenjo yang pernah punya cita-cita jadi tentara dan dokter itu, Parokelenjo yang hidup dalam kekuasan regime dikatator tua yang telah berkuasa selama tiga dekade. Keinginan Partokelenjo saat ini adalah berjumpa dengan anak dan istrinya yang sebentar lagi melahirkan anaknya yang kedua. Dia ingin juga anaknya yang akan lahir itu nantinya seperti dirinya..manusia yang perkasa yang tahu artinya hidup dan tidak akan memberaki kemanusiaan. Dia tidak ingin anaknya seperti sang Dikatator Tua yang selama tiga dekade berkuasa, menindas dan membungkam suara kritis rakyatnya. Serta Partokelenjo tidak ingin anaknya nanti seperti Kopral Tokek yang menendang pantat sebangsanya sendiri.
Awal Januari 1998
*) Kesadaran adalah matahari, dari bait sajak Ws. Rendra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar