Minggu, 01 Mei 2011

CINTA (III)

Kelmarin aku berdiri berdekatan pintu gerbang sebuah rumah ibadat dan bertanya kepada manusia yang lalu-lalang di situ tentang misteri dan kesucian cinta.
Seorang lelaki setengah baya menghampiri, tubuhnya rapuh wajahnya gelap. Sambil mengeluh dia berkata, “Cinta telah membuat suatu kekuatan menjadi lemah, aku mewarisinya dari Manusia Pertama.”

Seorang pemuda dengan tubuh kuat dan besar menghampiri. Dengan suara bagai menyanyi dia berkata, “Cinta adalah sebuah ketetapan hati yang ditumbuhkan dariku, yang rnenghubungkan masa sekarang dengan generasi masa lalu dan generasi yang akan datang.’

Seorang wanita dengan wajah melankolis menghampiri dan sambil mendesah, dia berkata, ‘Cinta adalah racun pembunuh, ular hitam berbisa yang menderita di neraka, terbang melayang dan berputar-putar menembusi langit sampai ia jatuh tertutup embun, ia hanya akan diminum oleh roh-roh yang haus. Kemudian mereka akan mabuk untuk beberapa saat, diam selama satu tahun dan mati untuk selamanya.’

Seorang gadis dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia berkata, “Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai siraman ke dalam roh orang-orang yg kuat,? membuat mereka bangkit dalam doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian? di depan matahari di siang hari.’

Setelah itu seorang lelaki menghampiri. Bajunya hitam, janggutnya panjang dengan dahi berkerut, dia berkata, “Cinta adalah ketidakpedulian yang buta. la bermula dari hujung masa muda dan berakhir pada pangkal masa muda.’

Seorang lelaki tampan dengan wajah bersinar dan dengan bahagia berkata, ‘Cinta adalah pengetahuan syurgawi yang menyalakan mata kita. Ia menunjukkan segala sesuatu kepada kita seperti para dewa melihatnya.’

Seorang bermata buta menghampiri, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah dan dia kemudian berkata sambil menangis, ‘Cinta adalah kabus tebal yang menyelubungi gambaran sesuatu darinya atau yang membuatnya hanya melihat hantu dari nafsunya yang berkelana di antara batu karang, tuli terhadap suara-suara dari tangisnya sendiri yang bergema di lembah-lembah.’

Seorang pemuda, dengan membawa sebuah gitar menghampiri dan menyanyi, ‘Cinta adalah cahaya ghaib yang bersinar dari kedalaman kehidupan yang peka dan mencerahkan segala yang ada di sekitarnya. Engkau bisa melihat dunia bagai sebuah perarakan yang berjalan melewati padang rumput hijau. Kehidupan adalah bagai sebuah mimpi indah yang diangkat dari kesedaran dan kesedaran.’

Seorang lelaki dengan badan bongkok dan kakinya bengkok bagai potongan-potongan kain menghampiri. Dengan suara bergetar, dia berkata, “Cinta adalah istirahat panjang bagi raga di dalam kesunyian makam, kedamaian bagi jiwa dalam kedalaman keabadian.?

Seorang anak kecil berumur lima tahun menghampiri dan sambil tertawa dia berkata, “Cinta adalah ayahku, cinta adalah ibuku. Hanya ayah dan ibuku yang mengerti tentang cinta.”

Waktu terus berjalan. Manusia terus-menerus melewati rumah ibadat. Masing-masing mempunyai pandangannya tersendiri tentang cinta. Semua menyatakan harapan-harapannya dan mengungkapkan misteri-misteri kehidupannya.

:+: Khalil Gibran :+:

Posted in khalil gibran

CINTA (II)


Mereka berkata tentang serigala dan tikus
Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan? hering
Menjunam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya
mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati

(Dari ‘The Forerunner))

:+: Kahlil Gibran :+:

Posted in khalil gibran

CINTA (I)


Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang? ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

Pabila? cinta menggamitmu, ikutlah ia
Walaupun jalan-jalannya sukar dan curam
Pabila ia mengepakkan sayapnya,
Engkau serahkanlah dirimu kepadanya
Walaupun pedang yang tersisip pada sayapnya akan melukakan kamu.

Pabila ia berkata-kata
Engkau percayalah kepadanya
walaupun suaranya akan menghancurkan mimpimu
seperti angin utara yang memusnahkan taman-taman
kerana sekalipun cinta memahkotakan kamu
Ia juga akan mengorbankan kamu
walaupun ia menyuburkan dahan-dahanmu
ia juga mematahkan ranting-rantingmu
walaupun ia memanjat dahanmu yang tinggi
dan mengusap ranting-rantingmu yang gementar
dalam remang cahaya matahari
ia juga turun ke akar-akarmu
dan menggoncangkannya dari perut bumi

Seperti seberkas jagung
ia akan mengumpulmu untuk dirinya
membantingkanmu sehingga engkau bogel
mengayakkanmu sehingga terpisah kamu dari kulitmu
mengisarkanmu sehingga engkau menjadi putih bersih
mengulimu agar kamu mudah dibentuk
dan selepas itu membakarmu di atas bara api
agar kamu menjadi sebuku roti yang diberkati
untuk hidangan kenduri Tuhanmu yang suci

Semua ini akan cinta lakukan kepadamu
supaya engkau memahami rahsia hatinya
dan dengan itu menjadi wangi-wangian kehidupan
tetapi seandainya di dalam ketakutanmu
engkau hanya mencari kedamaian dan nikmat cinta
maka lebih baiklah engkau membalut dirimu
yang bogel itu
dan beredarlah dari laman cinta yang penuh gelora
ke dunia gersang yang tidak bermusim
di sana engkau akan ketawa
tetapi bukan tawamu
dan engkau akan menangis
tetapi bukan dengan air matamu

Cinta tidak memberikan apa-apa melainkan dirinya
dan tidak mengambil apa-apa melainkan daripada dirinya
cinta tidak mengawal sesiapa
dan cinta tidak boleh dikawal sesiapa
kerana cinta lengkap dengan sendirinya

Dan pabila engkau bercinta
engkau tidak seharusnya berkata
“kejadian adalah hatiku,” sebaliknya berkatalah:
“aku adalah kejadian”

Dan janganlah engkau berfikir
engkau boleh menentukan arus cinta
kerana seandainya cinta memberkatimu
ia akan menentukan arah perjalananmu

Cinta tiada nafsu melainkan dirinya
tetapi seandainya kamu bercinta
dan ada nafsu pada cintamu itu
maka biarlah yang berikut ini menjadi nafsumu;
menjadi air batu yang cair
membentuk anak-anak sungai
yang menyanyikan melodi cinta
pada malam yang gelap gelita
untuk mengenal betapa pedihnya kemesraan
untuk merasa luka kerana engkau kini mengenali cinta
dan rela serta gembira
melihat darah dari lukanya
untuk bangun pada waktu fajar dengan hati yang lega
dan bersyukur untuk satu hari lagi yang terisi cinta
untuk beristirehat ketika matahari remang
untuk mengingati kemanisan cinta yang tidak terperi
untuk kembali ke rumahmu ketika air mati
dengan rasa kesyukuran di dalam hati
dan dalam tidurmu berdoalah untuk kekasihmu
yang bersemadi di dalam hatimu
dengan lagu kesyukuran pada bibirmu

(Dari ‘Sang Nabi’)

:+: Khalil Gibran :+:

Posted in khalil gibran

DUA KEINGINAN


Di keheningan malam, Sang Maut turun atas hadrat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan Sang Lelap.

Ketika rembulan tersungkur di kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam kepekatan, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di celah-celah kediaman - berhati-hati tidak menyentuh apa-apa pun - sehingga tiba di sebuah istana. Ia masuk melalui pagar besi berpaku tanpa sebarang halangan dan berdiri di sisi sebuah ranjang , dan tika ia? menyentuh dahi? si lena, lelaki itu membuka kelopak matanya dan memandang dengan penuh ketakutan.

Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan bercampur aduk kemarahan, “Pergilah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau memasuki istana ini? Apa yang kau inginkan? Tinggalkan rumah ini dengan segera! Ingatlah, akulah tuan rumah ini. Nyahlah kau, kalau tidak, kupanggil para hamba suruhanku dan para pengawalku? untuk mencincangmu menjadi kepingan!”

Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, “Akulah kematian, berdiri dan tunduklah padaku.”

Dan si lelaki? itu menjawab, “Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika urusanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kaya berkuasa seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri melihat taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku sakit menatap sayap-sayapmu yang menjijikkan dan tubuhmu yang meloyakan.”

Namun selepas tersedar, dia menambah dengan ketakutan, “Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, kerana rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah longgokan emasku semahumu atau nyawa salah seorang dari hamba-hambaku, dan tinggalkanlah diriku… Aku masih mempunyai urusan kehidupan yang belum selesai dan berhutang emas dengan orang. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, permintaanku..jangan ambil nyawaku… Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya perempuan simpanan yang? luarbiasa cantiknya untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putera tunggal yang kusayangi, dialah sumber kegembiraan hidupku. Kutawarkan dia juga sebagai galang ganti, tapi nyawaku jangan kau cabut dan tinggalkan diriku sendirian.”

Sang Maut itu mengeruh,”Engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak sedar diri.”? Kemudian Maut mengambil tangan orang hina itu, mencabut nyawanya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk menghukumnya.

Dan Maut berjalan perlahan di antara setinggan orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling daif yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, “Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah rohku, kerana kaulah harapan impianku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, kerana kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Bawalah daku pada Ilahi. Jangan tinggalkan daku di sini.”

“Aku telah memanggil dan merayumu berulang kali, namun kau tak jua datang. Tapi kini kau telah mendengar suaraku, kerana itu jangan kecewakan cintaku dengan menjauhi diri. Peluklah rohku, Sang Maut yang dikasihi.”

Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruh roh itu di bawah perlindungan sayap-sayapnya.

Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang — ke dunia - dan dalam bisikan amaran ia berkata, “Hanya mereka? di dunia yang? mencari Keabadianlah yang sampai ke Keabadian itu.”

(Dari ‘Dam’ah Wa Ibtisamah’ -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

:+: Kahlil Gibran :+:

IBU


Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

:+: Khalil Gibran :+:

Posted in khalil gibran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar