Kamis, 05 April 2012
Bolehnya Kencing Berdiri
Bolehnya Kencing Berdiri
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Takutlah kalian terhadap perihal dua orang yang terlaknat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah dua orang yang terlaknat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang buang air di jalanan manusia atau tempat berteduhnya mereka.” (HR. Abu Daud no. 25)
Dari Jabir dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Bahwa beliau melarang kencing pada air yang diam (tidak mengalir).” (HR. Muslim no. 281)
Dari Huzaifah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
“Aku pernah berjalan bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, saat kami sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau kencing sambil berdiri, maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Akan tetapi beliau bersabda, “Mendekatlah,” aku pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di belakang kedua tumitnya. Kemudian beliau berwudlu dengan mengusap di atas kedua khuf (sepatu) beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقَالَ يَا مُغِيرَةُ خُذْ الْإِدَاوَةَ فَأَخَذْتُهَا فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي فَقَضَى حَاجَتَهُ
“Aku pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam suatu perjalanan, lalu beliau bersabda, “Wahai Mughirah, ambilkan segayung air.” Aku lalu mengambil air untuk beliau, kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pergi menjauh hingga tidak terlihat olehku, lalu beliau buang hajat.” (HR. Al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274)
Penjelasan ringkas:
Di antara pokok mendasar dalam syariat Islam adalah haramnya mengganggu dan menimpakan kemudharatan kepada kaum muslimin. Karenanya dalam adab buang air, Islam juga menuntunkan agar dalam pelaksanaannya jangan sampai mengganggu kaum muslimin, karena mengganggu kaum muslimin merupakan dosa yang besar. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Di antara bentuk menyakiti kaum muslimin adalah membuang najis dan kotoran di tempat mereka biasa berjalan atau di tempat berteduh mereka atau di tempat air dimana mereka biasa mengambil air dari situ. Karenanya Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengharamkan buang air pada ketiga tempat tadi dan diikutkan kepadanya semua tempat yang bisa mengganggu kaum muslimin kalau seseorang buang air di situ.
Di antara adab dalam buang air adalah bahwa dalam buang air besar, seseorang diharuskan untuk bersembunyi dari orang lain, baik itu dengan cara menjauh ke tempat yang sunyi sampai tidak ada orang yang melihat -sebagaimana dalam hadits Al-Mughirah di atas, maupun dengan buang air di dalam wc atau di dalam rumah -sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang telah berlalu kami bawakan kemarin-.
Adapun dalam buang air kecil, maka tidak diharuskan seseorang itu untuk bersembunyi dan menjauh dari orang-orang akan tetapi dia boleh buang air di tempat terbuka. Yang dia lakukan cukup menjaga jangan sampai auratnya (kemaluan) tidak terlihat oleh orang lain walaupun tubuhnya terlihat oleh orang lain. Inilah yang disebutkan dalam hadits Huzaifah di atas, dimana beliau hanya menyuruh agar Huzaifah menjadi penghalang beliau dari belakang beliau. Dan tidak diragukan bahwa tubuh beliau tetap terlihat akan tetapi aurat beliau terjaga, dan ini bukanlah hal yang makruh.
Juga dibolehkan seseorang itu kencing berdiri -sebagaimana hadits Huzaifah di atas- dengan dua syarat:
1. Auratnya tidak terlihat orang lain.
2. Kencingnya tidak terpercik kembali mengenai tubuh dan pakaiannya.
Jika ini tidak terpenuhi maka dia wajib untuk kencing dalam keadaan duduk, dan memang inilah yang kebanyakannya beliau lakukan, yakni kencing dalam keadaan duduk. Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا قَاعِدًا
“Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi -shallahu ‘alaihi wasallam- buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian percayai, karena beliau tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk.” (HR. At-Tirmizi no. 12 dan An-Nasai no. 29)
Maka hadits ini menunjukkan bahwa di rumah Aisyah, Nabi tidak pernah kencing berdiri. Maka penafian Aisyah di sini hanya sebatas pengetahuan beliau, sementara Huzaifah telah menetapkan bahwa beliau kencing dalam keadaan berdiri. Pendapat bolehnya kencing berdiri merupakan pendapat sekelompok sahabat di antaranya: Umar, Huzaifah, Zaid bin Tsabit, Ali, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Urwah.
Di antara perkara yang tersebut dalam hadits di atas adalah: Bolehnya minta diambilkan dan dibawakan air untuk buang air dan bolehnya mengusap sepatu dalam berwudhu dan tidak perlu mencuci kedua kaki. Wallahu a’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar